ESAI RISALAH TOLERANSI
WRITTEN BY MAGGIE TIOJAKIN
Voltaire
Kita tidak
perlu karya agung ataupun kemampuan berbicara yang kelewat luwes untuk
membuktikan bahwa manusia beragama harus menghargai satu sama lain. Aku justru
akan memberikan pernyataan lebih jauh lagi, bahwa kita harus menganggap satu
sama lain sebagai saudara. Apa! Bersaudara dengan orang Turki? Orang Cina?
Orang Yahudi? Orang Siam? Saudaraku? Ya, tentu saja; bukankah kita diciptakan
oleh Tuhan yang sama?
Tapi
orang-orang itu membenci kita dan memperlakukan kita seolah kita ini pemuja
berhala! Mungkin saja; tapi kepada kalian aku katakan bahwa kalian tak bisa
menyalahkan orang lain selain diri kalian sendiri. Menurut hematku, aku dapat
dengan mudah menggoyahkan keangkuhan, serta kegigihan seorang pemimpin agama
bila aku berkata kepada mereka:
“Bola dunia kecil ini, yang tak lebih dari sebuah titik, berputar di alam semesta yang begitu luas, dan masih ada
bola-bola dunia lain di sekitar kita — oleh sebab itu, bola dunia kita bukanlah
segalanya. Sedangkan manusia, dengan tinggi badan tak lebih dari dua meter,
tentunya bukanlah hal terpenting dalam runutan penciptaan alam semesta.
Salah satu
hal yang sering kita lakukan adalah berkata kepada tetangga kita, seseorang
berkebangsaan berbeda dengan kita misalnya, atau seorang kafir dari negeri
lain: ‘Lakukan apa yang aku katakan, karena Tuhan yang berkuasa atas semua bola
dunia di alam raya ini telah mendatangkan rahmat-Nya atas diriku. Ada [6
milyar] semut kecil di dunia ini — karena sesungguhnya sekerdil itu ukuran kita
— namun hanya bukit tempat tinggalku dan sanak-saudaraku saja yang dicintai
Tuhan, karena yang lain dianggap tidak setia kepada-Nya. Oleh sebab itu,
sementara manusia lain menderita seumur hidup, hanya kami yang telah diberkati
dengan kebahagiaan.'”
Para kepala
agama tersebut akan menghentikanku dan berkata, Orang gila macam apa
yang berani bicara seperti itu? Dan aku akan menjawab mereka satu per
satu: Kalian. Lantas aku akan berusaha membujuk mereka dengan
mengatakan bahwa kegilaan itu wajar bagi semua manusia, meski aku akan mengakui
kesulitanku dalam menerima kenyataan tersebut.
Sekarang aku akan berbicara kepada kaum Nasrani, tepatnya di
zaman inkuisisi; dan berkata kepada anggota Ordo
Dominikan*, yang juga berlaku sebagai jaksa penuntut, “Saudaraku, kau tahu
bahwa setiap propinsi di Italia memiliki dialek-nya sendiri; mereka tidak
berkomunikasi di Venesia dan Bergamo sebagaimana mereka berkomunikasi di
Florence. Academi de la Crusca [lembaga linguistik ternama di
Italia] kini telah menetapkan bahasa nasional negara itu. Mereka telah menyusun
kamus umum yang harus dipatuhi aturannya; dan tatabahasa Buon Mattei** dianggap
sebagai rujukan resmi yang tak boleh diganggu-gugat dan harus diikuti oleh
semua penduduk Italia. Namun apakah menurutmu Kepala Akademi La Crusca,
atau bila beliau berhalangan, Buon Mattei sendiri akan sampai hati dan memotong
semua lidah penduduk di Venisia atau Bergamo bila mereka bersikeras menggunakan
bahasa daerah mereka?”
Tentunya
jaksa itu akan menjawab: “Kasusnya tidak bisa disamakan dengan kami. Yang jadi
fokus di sini adalah penyelamatan jiwamu; untuk kebaikanmu sendiri. Itu
sebabnya kau ditahan; meski penahananmu hanya didasari oleh pengaduan dari satu
orang yang sebenarnya punya reputasi buruk. Tapi, sudahlah. Dari situ, kau akan
diadili tanpa pembelaan; dan kau takkan pernah tahu siapa nama orang yang
mengadukanmu. Tentunya, kami akan mengadilimu dengan bijak, walau pada akhirnya
kau akan dijerat hukuman siksaan sebanyak lima kali sebelum akhirnya dicambuk,
digantung, atau dibakar hidup-hidup. Oh ya, kau juga akan dihukum dalam sebuah
perhelatan suci besar-besaran dan ditonton khalayak umum. Pastur Ivonet, [dan]
Doktor Cuchalon, Zarchinus, Campegius, Royas, Telinus, Gomarus, Diabarus, dan
Gemelinus*** telah meletakkan dasar-dasar hukum ini dan karenanya praktik imani
ini tidak terbantahkan.”
Aku akan
menjawab: “Saudaraku, meskipun kau benar; aku yakin kau akan berlaku adil
kepadaku; tapi apa benar tidak ada cara lain untuk menyelamatkan jiwaku?”
Sejujurnya,
memang tidak semua kekejian macam ini terjadi di seluruh penjuru dunia; tapi
kalau dipikir-pikir, jumlahnya juga tidak sedikit dan frekuensinya sangat
tinggi. Bahkan, kalau mau dibuat penelitian, kita bisa menemukan banyak bukti
yang menunjukkan kekejian manusia terhadap satu sama lain yang dilandasi oleh
agama, dan bisa dipastikan bahwa kumpulan halaman berisi bukti-bukti itu akan
jauh lebih tebal daripada halaman yang ditumpuk untuk menyusun kitab suci (yang
justru bertujuan menghukum praktik-praktik kekejian).
Bila kita
menghukum orang lain hanya karena dia berbeda pendapat dengan kita, dalam hidup
sesingkat ini, maka perlakuan kita sungguh kejam; dan adalah hal yang lancang
bagi kita untuk menghujat mereka. Coba ditelaah baik-baik: ada yang tidak beres
dengan cara pikir ini. Kita beranggapan bahwa mahluk sekerdil kita, yang sungguh
tak ada artinya, pantas mewakili sosok Sang Pencipta.
Aku bukan
ingin menentang pendapat bahwa, “Tak ada keselamatan di luar rumah ibadah.” Aku
menghargai pendapat itu, dan segala hal yang diajarkan dalam hidup beragama;
tapi, sejujurnya, apakah kita benar telah mengenal cara pikir Tuhan dan sejauh
mana Ia bersedia mengampuni umat-Nya? Apa kita tidak boleh berharap sekaligus
tunduk kepada-Nya? Apa tidak cukup bagi kita untuk setia terhadap rumah ibadah
tempat Ia dipuja dan diagungkan? Haruskah setiap umat beragama mengatasnamakan
Tuhan dalam setiap tindak-tanduknya, lantas dengan semena-mena memutuskan bagi
semua orang mana yang baik, dan mana yang buruk?
Saat kita
melepas kepergian seseorang yang memiliki keyakinan berbeda dengan kita, apa
kita kemudian mengutuk mereka agar masuk neraka? Ada [milyaran manusia yang
hidup di dunia ini] dengan keyakinan berbeda-beda, apa kita kemudian berucap
pada setiap orang yang berkeyakinan berbeda, “Saudara, karena engkau manusia
terkutuk, maka aku menolak untuk makan, berurusan atau berbicara denganmu”?
Kita bisa
berasumsi bahwa duta besar Prancis, saat berhadapan dengan Grand Seignior****,
akan berkata kepada dirinya sendiri: “Yang Mulia akan diceburkan ke dalam api
neraka karena ia memiliki keyakinan berbeda denganku.” Bila sang duta besar
benar-benar berpikir bahwa sang Grand Seignior adalah musuh bebuyutan Tuhan,
dan oleh sebab itu ia harus dimusuhi semua umat Nasrani, maka apa keduanya
boleh saling berbicara? Bagaimana Kerajaan Prancis bisa bekerja sama dengan Kesultanan Ottoman
bila agama jadi satu-satunya penghubung? Bagaimana dengan masalah perdagangan?
Kehidupan sipil macam apa yang kita miliki bila kita berkeyakinan bahwa
siapa-siapa yang menurut kita “terkutuk” tidak boleh disentuh atau diajak bicara?
O kalian para pemuja Tuhan yang penuh welas asih! Bila itu yang kalian
yakini, maka hati kalian sungguh keji. Bagaimana kalian bisa menganggap diri
kalian sebagai umat Tuhan, bila hukum agama yang utama: “Cintai Tuhan dan
tetanggamu” telah kalian nodai dengan sofisme dan argumentasi yang tak masuk
akal? Bagaimana kalian bisa menganggap diri kalian suci, bila kalian telah
menyulut api kebencian, hanya karena sebuah kata yang berbeda, atau huruf yang
berbeda? Bila kalian memang ingin mengutuk semua orang yang berkeyakinan lain,
yang memiliki budaya dan cara hidup berbeda, maka aku katakan, dengan penuh
kesedihan: “Mari kita kunjungi hari itu, di mana semua manusia diadili di
hadapan Tuhan.
Aku melihat
semua orang yang telah meninggal, baik mereka yang meninggal di masa lampau
maupun masa sekarang, berjajar di hadapan Tuhan. Apa kalian yakin bahwa Sang
Pencipta akan berkata kepada Konfusius, yang bijak dan berbudi luhur; kepada si
perumus undang-undang, Solon; kepada Pitagoras, Zaleucus, Sokrates, Plato,
Antonini yang agung, Trajan yang baik, Titus yang rajin menolong sesama, juga
Epictetus, serta semua orang yang telah jadi contoh baik bagi
kemanusiaan: Pergilah, wahai monster! Semoga kalian membara dalam
kubangan api neraka selamanya! — Sementara kalian, Jean Châtel, Ravaillac,
Damiens, Cartouche dan lainnya yang mati di tiang gantung karena perbuatan keji
kalian yang mengatasnamakan aku, kepada kalian kuberikan singgasana di sisiku
dan juga kerajaanku, serta kebahagiaanku!“
Kau meringis
membaca kata-kata di atas; namun sungguh tak ada lagi yang bisa kusampaikan
kepadamu.
DOA KEPADA
TUHAN
Aku enggan
mengagungkan manusia; hanya kepada-Mu, Tuhan dari segala alam semesta, aku
berserah — kami adalah mahluk lemah yang seringkali tersesat dalam dunia yang
begitu luas ini, dan bila kami berani meminta dari-Mu, wahai Tuhan yang telah
memberikan kami segalanya, dengan hukum cinta kasih-Mu yang tidak bisa
diganggu-gugat dan bersifat abadi, inilah permintaan kami: Kasihanilah kami
yang berdosa ini, karena kami sebagai manusia tak pernah jauh dari kesalahan;
jangan sampai dosa-dosa kami Engkau jadikan kutukan bagi kami! Hati kami tidak
Kau buat untuk membenci, tangan kami tidak Kau buat untuk menghancurkan satu
sama lain; doronglah kami untuk saling membantu, untuk saling menopang beban
dalam hidup yang penuh siksaan dan sangat singkat ini!
Semoga
perbedaan-perbedaan kami, dari pakaian yang membungkus tubuh kami yang rapuh;
sampai bahasa kami yang tak sempurna, adat kami yang konyol, hukum kami yang
penuh cacat, opini kami yang stagnan, serta status dan kondisi kami yang nampak
begitu jomplang di mata kami, namun begitu rata di mata-Mu: semoga perbedaan di
antara kami, para manusia kerdil, tidak lantas kami jadikan senjata untuk
membenci dan menghukum sesama kami!
Cintailah
mereka yang memuja-Mu di siang hari dengan cara menyalakan lilin, sama seperti
Engkau mencintai mereka yang memuja-Mu dengan cara bersyukur atas teriknya
sinar matahari!
Jangan biarkan mereka yang berjubah putih dan berbicara tentang
cinta-kasih dalam nama-Mu kemudian membenci orang lain yang
mengatakan hal serupa, hanya karena mereka berjubah hitam! Biarkan manusia
hidup dalam kesetaraan, karena Engkau mencintai mereka yang memuja-Mu dalam
bahasa kuno, juga dalam bahasa modern!
Semoga para
pemimpin agama yang membimbing umat-umat manusia di bumi ini; serta para kepala
negara dan petugas hukum tidak semena-mena dalam menjalankan tugas mereka.
Semoga mereka tidak tenggelam dalam kepuasan diri, berbasuh kekayaan dan
keagungan; dan semoga tak ada pihak-pihak yang iri ataupun dengki terhadap
mereka: karena seperti yang Engkau ketahui, tak ada yang perlu dibanggakan
ataupun dicemburui dari para pemimpin itu!
Semoga
manusia ingat bahwa kita semua adalah saudara! Semoga mereka mengutuk
kezaliman, terutama yang datangnya dari pikiran, karena buah pikiran semacam
itu sama saja seperti pencuri yang membawa pergi secara paksa kesadaran kita
yang telah kita pupuk susah-payah lewat upaya kedamaian!
Dan bilamana
bencana perang sungguh tak terelakkan, maka bantu kami agar tidak saling
membenci atau menghancurkan atas nama kedamaian; dan sebaliknya, semoga kami
justru mensyukuri setiap detik kehidupan yang telah Engkau berikan dengan cara
menghaturkan pujian dalam ribuan bahasa, dari Siam sampai Kalifornia,
kepada-Mu! FL
Maret 2016 © Hak cipta Fiksi
Lotus dan Voltaire. Tidak untuk digandakan, dijual, atau
ditukar.
#KETERANGAN:
(*) Ordo
Dominikan adalah kelompok relijius berkeyakinan Katolik Roma yang dibentuk oleh
seorang pastur berkebangsaan Spanyol yang tinggal di Prancis dan kemudian
disahkan pembentukkannya oleh Sri Paus Honorius III di abad ke-13.
(**) Buon
Mattei, atau Benedetto Buommattei, adalah seorang guru besar leksikografi asal
Florence yang menulis buku Della Lingua Toscana.
(***) Pastur
Ivonet, [dan] Doktor Cuchalon, Zarchinus, Campegius, Royas, Telinus, Gomarus,
Diabarus, dan Gemelinus adalah ahli teologi berkeyakinan Katolik Roma.
(***) Grand
Seignior adalah sebutan Sultan Ottoman.
#CATATAN:
> Esai
ini merupakan bagian dari kumpulan esai karya VOLTAIRE yang bertajuk Traité
Sur La Tolérance atau A Treatise on Tolerance dan
pertama kali diterbitkan pada tahun 1763. Esai ini ditulis sebagai bentuk
protes atas pendakwaan (dan eksekusi mati) Jean Calas di tahun yang sama.
>>
VOLTAIRE adalah nama pena François-Marie Arouet, penulis dan filsuf asal
Prancis yang paling dikenal di Abad Pencerahan. Ia telah menulis ratusan karya
di masa hidupnya, namun karyanya yang telah mendunia berjudul Candidé
Komentar
Posting Komentar